hidayatullah.com. Setiap orang yang melaksanakan ibadah haji tentu berharap agar hajinya mabrur. Bagaimana tidak? Karena haji yang mabrur pahalanya sangat besar yaitu surga. Rasulullah saw bersabda, “Haji mabrur itu tidak ada balasannya melainkan surga” (HR. Bukhari dan Muslim).
Berbahagialah orang yang diberi kesempatan untuk mengerjakan ibadah haji dan memperoleh haji mabrur. Adakah yang lebih berharga daripada surga? Dunia beserta isinya tidak ada apa-apa dibandingkan dengan surga. Maka, tak heran bila umat Islam sangat berkeinginan untuk melaksanakan ibadah haji. Ongkos Naik Haji (ONH) yang tinggi tidak menyurut minatnya untuk menunaikan ibadah haji, karena mendambakan surga yang tak ternilai itu. Bahkan untuk berangkat haji, sebahagian mereka rela menjual atau menggadaikan harta bendanya, meskipun harus menunggu selama bertahun-tahun karena waiting list (daftar tunggu).
Namun, sangat disayangkan, bila niat yang mulia tersebut tidak diimbangi dengan bekal yang memadai yaitu ilmu manasik haji seperti yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Banyak orang yang berhaji tanpa mengetahui hukum-hukum haji, adab-adabnya, dan ajaran-ajaran Islam secara umum. Akibatnya, banyak amalan haji yang ternoda, tidak sempurna, bahkan mungkin batal karenanya. Oleh karena itu, haji yang dilaksanakan tidak berbekas pada pelakunya, walaupun telah melaksanakannya berkali-kali. Alih-alih ingin dapat haji mabrur, kesempurnaan pun tidak didapatkan.
Kiat Meraih Haji Mabrur
Haji mabrur adalah haji yang diterima oleh Allah SWT. Menurut sebahagian ulama, haji mabrur adalah ibadah haji yang pengaruhnya terlihat bagi pelakunya, sehingga perilakunya berubah menjadi lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya. Pendapat yang lain, haji mabrur adalah ibadah haji yang tidak dicemari dengan dosa. (Subulussalam, 2/283)
Untuk meraih haji mabrur, maka harus memenuhi persyaratan berikut:
Pertama, harus dilakukan dengan ikhlas. Dalam menunaikan ibadah haji, seseorang tidak ada tujuan lain selain mendapatkan ridha Allah Swt. Tidak menghendaki riya’ (pamer) agar dipuji orang atau mencari popularitas. Bukan pula untuk mendapat gelar “haji”, akan tetapi hanya mengharapkan ridha Allah Swt. Mengenai kewajiban ikhlas, Allah Swt berfirman, “Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah Swt dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama...” (QS. Al-Bayyinah: 5).
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya suatu amal itu akan diterima dengan niat (ikhlas)...” (HR. Bukhari dan Muslim) Oleh karena itu, ikhlas merupakan syarat mutlak diterima suatu ibadah.
Syeikh Taqiyuddin berkata, “Seorang yang hendak melaksanakan ibadah haji wajib berniat untuk mengharapkan ridha Allah Swt, mendekatkan diri kepada-Nya, tidak bertujuan karena harta duniawi, atau untuk berbangga-banggaan, atau untuk mendapatkan gelar haji, atau karena ingin mendapatkan nama baik. Karena yang demikian menyebabkan amal menjadi batal dan tidak dierima disisi Allah Swt.” (Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, 4/3)
Kedua, melakukan ibadah haji sesuai dengan petunjuk (sunnah) Rasulullah saw dalam ibadah haji. Suatu ibadah yang dikerjakan tanpa petunjuk Rasul saw tidak akan diterima oleh Allah Swt. Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang mengada-adakan suatu urusan agama yang bukan berasal dari petunjuk kami maka amalannya tersebut ditolak” (H.R. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat yang lain,“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang bukan berasal dari petunjuk kami maka amalannya tersebut ditolak” (H.R. Muslim).
Tatacara pelaksanaan ibadah haji telah dijelaskan dan dipraktekkan oleh Rasulullah saw dalam manasik haji beliau, dan kita diperintahkan untuk mengikutinya. Rasulullah saw bersabda, “Ambillah dariku manasik (tata cara haji) kamu sekalian” (HR. Muslim dan Abu Daud).
Maka, kewajiban semua kaum muslimin meneladani Nabi saw, dengan melaksanakan manasik haji yang telah diajarkannya. Sebab, Nabi saw sebagai pengajar dan pembimbing manusia kepada kebenaran, yang diutus Allah sebagi pembawa rahmat bagi semesta alam dan sebagai hujjah atas semua manusia. Karena itu, Allah saw memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk mentaati Nabi saw (QS. Al-Hasyr: 7) dan menjelaskan bahwasanya mengikuti Nabi saw merupakan sebab seseorang masuk surga dan selamat dari neraka (QS. An-Nisa’: 13-14). Karena mengikuti Nabi saw adalah bukti kebenaran cinta seseorang kepada Allah (QS. Ali Imran: 31).
Ketiga, ibadah haji dibiayai dengan harta yang mubah, bukan haram. Biaya haji tidak boleh berasal dari harta riba, hasil penipuan, judi, pencurian, korupsi, atau lainnya yang merupakan perbuatan yang diharamkan. Akan tetapi harus dari harta halal. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah itu baik. Dia tidak akan menerima kecuali yang baik...” (HR. Muslim dan Tirmizi). Maka, harta yang baik (halal) merupakan syarat diterimanya ibadah.
Mengenai ini pula, Rasulullah saw bersabda, “Jika seseorang keluar bertujuan haji dengan nafkah yang baik (halal) dan ia pijakkan kakinya pada pijakan pelana kudanya lalu menyeru, “Kusambut panggilan-Mu ya Allah, kusambut panggilan-Mu”, maka diserulah ia oleh penyeru dari langit “Ku sambut pula kamu dan kukaruniakan kepadamu kebahagiaan demi kebahagiaan. Bekalmu adalah halal, kendaraan yang kamu tunggani pun halal. Dan hajimu adalah mabrur, tidak ternoda oleh dosa.” Jika seorang itu keluar dengan nafkah yang buruk (haram) lalu ia pijakkan kakinya pada pijakan pelana kudanya dan menyeru: “Kusambut panggilan-Mu ya Allah, kusambut panggilan-Mu”, maka diserulah ia oleh penyeru dari langit: “Aku tidak menyambutmu dan tidak pula aku karuniakan kebahagiaan demi kebahagiaan kepadamu. Bekalmu adalah haram, dan harta yang kamu nafkahkan pun haram kendaraan yang kamu tunggangi pun halal. Dan hajimu tidak lah mabrur.” (HR. At-Thabrani)
Keempat, meninggalkan maksiat dan hal-hal yang diharamkan pada waktu mengerjakan ibadah haji, berdasarkan firman Allah Swt, “..Barangsiapa mengerjakan (ibadah) haji pada (bulan-bulan) itu, maka janganlah ia rafats, berbuat fasik, dan jidal dalam (melakukan ibadah) haji..” (QS. Al-Baqarah: 197). Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa mengerjakan ibadah haji sedangkan dia tidak melakukan rafats dan berbuat fasik, maka dia kembali seperti hari dia dilahirkan ibunya.” (HR. Ahmad, Bukhari dan Ibnu Majah).
Menurut para ulama, rafats adalah melakukan senggama dan hal-hal yang mengarahkan kepadanya. Sedangkan fasik adalah semua perbuatan maksiat. Adapun jidal, ulama menafsirkan dengan perdebatan yang dilarang adalah semua perdebatan yang meyebabkan kegaduhan, mudharat kepada orang lain atau mengurangi ketentraman. Atau yang dimaksudkan adalah perdebatan yang menyerukan kepada kebatilan dan mengaburkan kebenaran.
Sedangkan perdebatan dengan cara yang baik untuk menjelaskan kebenaran sebagai kebenaran dan kebatilan sebagai kebatilan adalah perbuatan yang dibenarkan dalam syariat Islam dan tidak termasuk perdebatan yang dilarang ketika haji. Ketiga hal tersebut tidak membatalkan haji kecuali senggama yang dilakukan sebelum tahallul awal. Akan tetapi ketiganya mengurangi pahala haji, mengurangi iman dan melemahkannya. Maka, kewajiban setiap orang yang melaksanakan haji dan umrah adalah menjauhi ketiga hal tersebut, karena mereka sedang melaksanakan perintah Allah Swt dan berkeinginan mendapatkan kesempurnaan.
Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz berkata, “Adapun arti rafats adalah melakukan hubungan badan ketika sedang ihram dan hal-hal yang mengarah kepadanya, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan. Sedangkan fasik adalah semua perbuatan maksiat.
Maka siapa yang meninggalkan rafats dan perbuatan fasik dalam hajinya, maka diampuni semua dosanya, dan di antara perbuatan fasik adalah terus-menerus dalam kemaksiatan.
Siapa yang terus-menerus dalam kemaksiatan berarti dia tidak meninggalkan perbuatan fasik. Maka, ia tidak mendapatkan apa yang dijanjikan dalam hadits, “Barangsiapa yang haji dan dia tidak rafats, dan tidak berbuat fasik, maka dia kembali seperti hari ketika dia dilahirkan ibunya.” (HR. Ahmad, Bukhari, Nasa’i dan Ibnu Majah). Sebab, hadits tersebut adalah seperti sabda Rasulullah saw, “Haji mabrur itu tidak ada balasannya melainkan surga” (HR. Bukhari dan Muslim). (Fatawa-Fatawa haji dan umrah, hal. 34)
Syeikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin berkata, “Orang yang mengerjakan haji hendaklah menjauhi rafats yaitu jima’ dan semua sebab dan motif yang mendorongnya, menjauhi tindakan fasik baik dalam bentuk kata-kata yang diharamkan seperti ghibah (mengumpat), namimah (mengadu-domba) atau dusta, maupun berupa perbuatan yang diharamkan seperti memandang wanita yang bukan mahramnya dan lain sebagainya.
Adapun jidal yaitu bertengkar dan berdebat dengan orang lain ketika menunaikan ibadah haji. Hal ini akan banyak mengurangi pahala haji, kecuali berdebat untuk mencari kebenaran dan menjauhi kebatilan, maka ini hukumnya wajib.” (Syarah Riyadhus Shalihin, 3/747)
Ciri - Ciri Haji Mabrur
Sejatinya, orang yang telah menunaikan ibadah haji sepulangnya ke tanah air, perilakunya menjadi lebih baik dari perilaku sebelumnya. Ia akan selalu menjaga dirinya dari maksiat dan dosa, baik berupa ucapan maupun perbuatan. Ia melaksanakan semua perintah Allah dan Rasul-Nya sesuai dengan kemampuannya. Ibadahnya pun semakin baik dan meningkat, baik dari kualitas dan kuantitasnya. Ia akan selalu menjaga shalat fardhu lima waktu secara berjama’ah. Ia memperbanyak shalat sunnat seperti shalat sunnat rawatib, dhuha, setelah wudhu, dan sebagainya. Begitu pula ia membaca Al-Quran setiap hari. Itulah tanda haji mabrur.
Menurut Syaikh Abdul azis bin Abdullah bin Baz, tanda haji yang mabrur adalah melaksanakan semua kewajiban dan meninggalkan semua kemaksiatan dengan tanpa sedikitpun terus-menerus dalam suatu perbuatan maksiat. Maka, kewajiban setiap muslim, baik yang sedang mengerjakan haji atau yang tidak adalah menghindari semua perbuatan maksiat dan bersegera taubat kepada Allah dengan meninggalkan semua perbuatan maksiat untuk tidak mengulangi lagi karena mengagungkan Allah dan berkeinginan mendapatkan apa yang ada di sisi-Nya. Dan diantara bentuk taubat yang sempurna, yaitu jika kesalahannya berkaitan dengan manusia, maka ia harus mengembalikannya kepada orang yang berhak atau minta dihalalkan olehnya.
Allah berfirman, “...Dan bertaubatlah kepada Allah kamu semua wahai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung.” (QS. An-Nur: 31) Allah juga berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kamu kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya..” (QS. At-Tahrim” 8) (Fatawa-Fatawa haji dan umrah, hal. 35)
Imam Nawawi berkata, “Menurut pendapat yang shahih dan masyhur, yang dimaksud dengan mabrur adalah tidak dicemari dengan dosa. Ciri-cirinya, buah kemabruran tampak pada dirinya, seperti perilaku setelah melaksanakan ibadah haji jauh lebih baik dari perilaku sebelum haji.” (Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, 4/5)
Sebagai penutup, untuk meraih haji mabrur, setiap orang yang mengerjakan haji wajib mengetahui dan mengamalkan manasik haji sesuai petunjuk al-Quran dan Sunnah Rasul saw. Selamat menunaikan ibadah haji. Semoga memperoleh haji mabrur. Amin..!
Penulis adalah dosen IAIN Ar-Raniry, Ketua bidang Dakwah Dewan Dakwah Aceh, & anggota Komite Penguatan Aqidah & Peningkatan Amalan Islam (KPA-PAI) kota Banda Aceh
Cara Mudah & Cepat Menunaikan Ibadah Haji dan Umrah Tanpa Kendala Biaya
Penyelenggara Perjalanan Umroh & Haji Plus sejak 1990
Izin Umroh D/142 th 2009 & Izin Haji Plus D/80 th 2009
Kantor Perwakilan Surabaya - Jawa Timur
Divisi Marketing Armina Utama Sukses
Jl. Semolowaru Elok AL 2
031-7111 3345
Kantor Pusat
PT ARMINAREKA PERDANA
Gedung Menara Salemba Lt.V
Jl.Salemba Raya No.05 Jakarta Pusat 10440
Telp : 021.3984 2982 , 3984 2964
Fax : 021.3984 2985
0 komentar:
Posting Komentar